PERKARA BARU DALAM SOROTAN SYARIAH
Penulis: Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari
Syariah, Hadits, 27 - Mei - 2003, 08:45:49
Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil
yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap
muslim sehingga tidak bermudah-mudah membuat amalan yang tidak ada
perintahnya baik dari Allah maupun Rasulullah.
Nabi kita yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam bertutur dalam haditsnya yang agung :
"Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami yang hal tersebut bukan dari agama ini maka perkara itu ditolak".
Hadits yang dibawakan oleh istri beliau yang mulia Ummul Mukminin Aisyah radliallahu anha ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Ash Shulh, bab Idzaashthalahuu `ala shulhi jawrin fash shulhu marduud no. 2697 dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Al Aqdliyyah yang diberi judul bab oleh Imam Nawawi rahimahullah selaku pensyarah (yang memberi penjelasan) terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, bab Naqdlul ahkam al bathilah wa raddu muhdatsaati umuur, no. 1718. Imam Muslim rahimahullah juga membawakan lafaz yang lain dari hadits di atas, yaitu :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak"
Hadits ini juga diriwayatkan oleh sebagian imam ahli hadits dalam
kitab-kitab mereka. Dan kami mencukupkan takhrijnya pada shahihain
(Shahih Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan
kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam". Beliau menambahkan lagi:
"Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan
dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini
disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil". ( Syarah Shahih Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah
membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari,
beliau berkomentar : "Hadits ini terhitung sebagai pokok dari
pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama". (Fathul
Bari)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya
Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata
: "Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia
seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana
hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi
amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan
untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan
pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada
padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima
dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)
Agama Ini telah Sempurna
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman :
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan
telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai
agama kalian". (QS. Al Maidah : 3)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di
atas : "Hal ini merupakan kenikmatan Allah ta`ala yang terbesar bagi
umat ini, di mana Allah ta`ala telah menyempurnakan untuk mereka agama
mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula
butuh kepada nabi yang selain nabi mereka shallallahu 'alaihi wasallam,
karena itulah Allah ta`ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi
dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang
halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram
melainkan apa yang beliau haramkan,. Tidak ada agama kecuali apa yang
beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu
benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di
dalamnya" (Tafsir Ibnu Katsir 2/14)
Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya
maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak
pernah dikenal sebelumnya, apakah berupa penambahan ataupun pengurangan
dari apa yang disampaikan dan diajarkan oleh beliau Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf
(pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi`in, atbaut
tabi`in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam sendiri juga telah memberi peringatan dari
perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam
hadits Abdullah ibnu Mas`ud radliallahu anhu beliau shallallahu alaihi
wasallam bersabda :
"Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang
diada-adakan itu bid`ah dan setiap bid`ah itu adalah kesesatan". (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no. 25 dan hadits ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah)
Hadits yang semakna dengan ini datang pula dari shahabat Al Irbadh Ibnu Sariyah radliallahu anhu.
Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama
ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu
batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam :
"Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak".
Kata Imam Nawawi rahimahullah : "Hadits ini jelas sekali dalam
membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama".
(Syarah Muslim, 12/16)
Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini,
kemudian dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang
mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat
oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak
mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan
padanya hadits :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak".
Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan
akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama
saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia
hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang
sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi
dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika
menjelaskan hadits ini.
Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : "Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah
hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah
amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya
berjalan di bawah hukum syar`i, cocok dengan hukum syar`i maka amalan
itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar`i maka
amalan itu tertolak. ("Jami`ul Ulum wal Hikam", 1/177)
Pembagian Amalan
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu`ammalah .
• Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah yang ada dalam pelaksanaannya : "Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang mensyariatkanya (memerintahkannya)". Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya :
- Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang
disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar
shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala tidaklah
dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki berdiri di
bawah terik matahari karena nadzar yang hendak ia tunaikan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta`ala kemudian beliau
shallallahu 'alaihi wasallam dengan serta merta memerintahkan orang itu
untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari (sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan pelaksanaannya di baitullah namun ada
di antara manusia yang melaksanakannya di selain baitullah seperti di
kuburan wali atau yang lainnya.
- Pelaksanaan haji di luar bulan haji
- Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal
ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya
tersebut.
- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.
2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya :
- Beribadah di sisi Ka`bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamar.
Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bahkan ini merupakan kebid`ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah ta`ala :
"Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya". (QS. Asy Syuura : 21)
3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya :
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta`ala
ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah
tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.
Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya
terjatuh pada sesuatu yang dibenci .
4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhlu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah
dan mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi
shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan
kewajiban berjamaah
• Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :
"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya").
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda.
Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang
lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada
putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi
tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing
berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut
dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam
kitabullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab
permintaan mereka :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan
memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing
dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali,
sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak
seratus kali dan diasingkan selama setahun".
Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada salah
seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina
oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita
itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya
hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang
dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695,
2696, demikian pula Imam Muslim dalam shahihnya no. 1697, 1698)
2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
• Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad
nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau
mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
• Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak
bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita
yang sedang menjalani masa `iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri
yang masih dalam naungan suaminya.
• Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah subhanahu wa
ta`ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras,
bangkai, babi dan sebagainya.
• Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak.
Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin
kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan
menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.
Faidah hadits
Faidah yang bisa kita ambil dari hadits ini, di antaranya :
• Batilnya perkara yang diada-adakan dalam agama
• Larangan terhadap satu perkara menunjukkan jeleknya perkara tersebut..
• Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dan tidak butuh koreksi dan protes terhadapnya.
• Perkara yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid`ah dan setiap bid`ah itu sesat.
• Dengan hadits ini tertolaklah pembagian bid`ah menjadi bid`ah
hasanah (bid`ah yang baik) dan bid`ah sayyiah (bid`ah yang jelek).
Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian
pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil
pula.
Wallahu ta`ala a`lam bishshawwab.