Adakah Bid’ah Hasanah?
Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Syariah, Kajian utama, 19 - November - 2003, 20:19:48
Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘melegalkan’ perbuatan
bid’ah. Salah satunya, tidak semua bid’ah itu jelek. Menurut mereka,
bid’ah ada pula yang baik (hasanah). Mereka pun memiliki dalil untuk
mendukung pendapatnya tersebut. Bagaimana kita menyikapinya?
Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ah di negeri kaum muslimin adalah
adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam
kebid’ahan ini ada yang boleh diterima yang dinamakan bid’ah hasanah.
Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ah itu ada dua:
hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).
Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh Asy-Syaikh
As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’: Bantahan terhadap Syubhat Pendapat
yang Menyatakan Adanya Bid’ah Hasanah
Syubhat pertama:
Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:
“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam
Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya
sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang
membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan
dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi
dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).
Bantahannya
Pertama: Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah)
adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan),
bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka yang dimaksud dalam hadits
ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah . Makna
ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu
sedekah yang disyariatkan.
Kedua: Rasul yang mengatakan:
“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”
Adalah juga yang mengatakan:
“Semua bid’ah itu adalah sesat.”
Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar
dan dibenarkan) suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain.
Tidak mungkin pula perkataan beliau saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan
mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini
adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab
tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
Ketiga: Bahwasanya Nabi mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan
mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ah). Juga mengatakan (dalam
Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam. Beliau juga
mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang
hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu
adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang
diada-adakan di dalam agama.
Keempat: Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari
salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu
sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.
Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘Umar bin Al- Khaththab z: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah)”.
Jawaban atas syubhat ini:
1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti
yang mereka maukan – bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun
sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman; kita tidak
boleh mempertentangkan sabda Rasulullah dengan pendapat siapapun juga
(selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan
ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah
Nabi Muhammad atau dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab zataupun
yang lainnya.
Firman Allah :
“(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An-Nisa`: 165)
Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk
membantah Allah dengan telah diutusnya para rasul ini. Merekalah yang
telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh
Allah. Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain
mereka.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di t (secara ringkas) mengatakan: “Ayat
ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah dan
Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti
perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah dan
Rasul-Nya dalam segenap urusan. Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan
dunia dan akhirat.”
Ibnu ‘Abbas c mengatakan: “Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari
langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian...demikian, (tapi)
kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini....”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz t mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi
siapapun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah .”
Al-Imam Asy-Syafi’i t mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat bahwa
barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah , tidak halal
baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran)
seseorang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits
Nabi , berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”
2. Bahwa ‘Umar z mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan
kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih
berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk
sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah x, bahwa Rasulullah
pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti
beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah
itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu
Rasulullah ). Namun beliau tidak keluar. Pada pagi harinya, beliau
bersabda:
“Saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang
menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran
(kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau
meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar zmelihat
alasan ini (kekhawatiran Rasulullah ) sudah tidak ada lagi, beliau
menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian,
jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar z ini mempunyai landasan yang
kuat yaitu perbuatan Rasulullah sendiri.
Jadi jelas bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab
zadalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah
syariat. Dan jelas pula tidak mungkin ‘Umar berani melanggar atau
menentang sabda Rasulullah yang telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ah
itu sesat.”
Syubhat ketiga:
Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ud z:
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad, 1/379)
Bantahan:
- Atsar ini tidak shahih jika di-rafa’-kan (disandarkan) kepada Rasulullah , tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ud zsemata.
Dan diriwayatkan dari Anas ztetapi sanadnya gugur, yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ud z.
- pada kata menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui. Dan
tentunya yang dimaksud dengan kata Al-Muslimun di sini adalah para
shahabat. Dan tidak ada satupun riwayat yang dinukil dari mereka yang
menyatakan adanya bid’ah yang hasanah.
- Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh
kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’. Dan ijma’ adalah hujjah.
Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ah yang
disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah
bid’ah hasanah? Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.
- Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau zseperti ini,
padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya
terhadap bid’ah, di mana beliau z pernah mengatakan:
“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupkan.
Dan sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.”(Shahih, HR. Ad-Darimi
1/69).
Secara ringkas, semua keterangan di atas yang menunjukkan betapa
buruknya bid’ah. Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut ini, yang
kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali t:
Cukuplah semua akibat buruk yang dialami pelaku bid’ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:
1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama)
kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak.” (Shahih,
HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah x)
2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ahan itu. Rasulullah bersabda:
“Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan
bid’ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)
3. Pelaku bid’ah akan mendapat laknat karena Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah, atau melindungi kebid’ahan, maka dia
akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib z).
Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi semua kebid’ahan
ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya bid’ah. Selain kita
menjauhi bid’ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para
pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada
pemikiran-pemikiran bid’ah ini. Seandainya ada yang mengatakan:
Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu
adalah baik juga? Hendaklah kita ingat firman Allah :
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah
Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan
mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang
mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)
Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ah itu lebih berbahaya dari
kemaksiatan. Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan
melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah
berbuat. Sedangkan pelaku bid’ah semakin tenggelam dalam kebid’ahannya
dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi,
bid’ah itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.
Wallahu a’lam. Semoga Allah tetap membimbing kita mendapatkan hidayah
dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ah
ini.
Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid (2), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani
3 Al-I’tisham (1), Asy-Syathibi
4 Al-Luma’, As-Sahibani
5 Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi‘, Salim Al-Hilali
6 Al-Bid’ah wa Atsaruha, ‘Ali Al-Faqihi
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil
8 Taisir Al-Karimir Rahman, As-Sa’di